Missing You (FF Remake of “Lay – Missing You)

Tittle    : Missing You (FF Remake of “Lay – Missing You”)

Cast     : Lay

Genre  : [up to readers]

Rating  : –

“Selamat pagi, chagi-ya” ujarku pada seorang wanita berambut panjang yang sedang tersenyum menatapku. Wajahnya begitu indah, bagai dipahat di surga. Matanya besar dan alisnya juga tebal. Membuat pancaran matanya menjadi yang terindah bagiku. Belum lagi bibir tipisnya yang selalu menghasilkan pesona senyum paling menawan.

Setelah puas memandangi wanitaku, aku segera bangun dari ranjang putih besar. Menarik selimutku perlahan dan menghirup udara pagi ini dengan segenap perasaan gembira. Karena hari ini aku sengaja cuti untuk mengunjungi tempat yang paling ku nanti tiap tahunnya. Sebenarnya aku selalu mengunjungi tempat itu setiap kali aku memiliki waktu. Tapi hari ini sangat spesial hingga aku tak bisa melewatkannya atau mengganti hari cutiku.

Tak ingin terlambat, aku segera berdiri dan kembali tersenyum melihat tulisan-tulisan pengingat dan penyemangat di note kecil berwarna kuning. Pesan-pesan dari wanitaku itu menyebar di seluruh penjuru rumah. Yang pertama ku baca dan berhasil membuatku selalu tersenyum adalah kalimat sapaan pagi darinya, Chagi-ya, selamat pagi, cepatlah mandi. Karena pesan itu aku pun pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Lalu aku memilih pakaian yang tepat untuk acara hari ini. Lagi-lagi, sebuah pesan tertempel di dua kemeja ku. Pesan pertama Baju ini cocok untukmu terdapat disebuah kemeja dengan warna-warna pastel. Ku lihat pesan lainnya yang terpasang di sebuah kemeja kotak-kotak putih hitam, tapi lebih cocok yang ini. Aku tersenyum lagi dan memakai kemeja yang terakhir ku pegang.

Sebelum berangkat aku selalu menyempatkan diri untuk menikmati secangkir kopi di meja makan yang juga penuh dengan pesan-pesan darinya. Seperti setelah minum kopi jangan lupa minum air putih atau tomat baik untuk kesehatanmu.Ia selalu peduli dengan detail. Sungguh membuatku makin menyayanginya.

Lalu ku lihat jam di dinding, menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. Aku masih memiliki waktu satu jam. Oleh karena itu, aku menikmati kopiku sambil memandangi wajahnya. Yang selalu berhasil membuatku mampu bertahan melewati hari-hari tanpa cahaya. Ia begitu cantik, selalu cantik setiap harinya. Bahkan ketika marah, ia menjadi lebih cantik. Hal itu pun membuatku semakin tidak sampai hati jika terus berlarut dalam suasana tidak menyenangkan.

Pada tegukan terakhir kopiku, tiba-tiba kenangan saat pertama kali aku bertemu dengannya muncul. Empat tahun lalu, ketika aku bekerja paruh waktu di restoran perancis. Ia adalah pelanggan setia restoran kami. Tiap Jumat malam ia selalu datang sendirian namun tetap menikmati makan malamnya. Ia juga selalu membawa sebuah catatan yang isinya puisi-puisi indah karyanya. Beberapa kali aku melihatnya menulis. Sampai suatu hari aku memberanikan diri untuk mengenalnya lebih dalam dan semuanya berjalan begitu baik. Kami pun menjadi sepasang kekasih dan terus bersama dalam keadaan apapun. Bahkan setelah aku tidak lagi bekerja di restoran dan memutuskan untuk sekolah musik dengan hasil kerja kerasku selama ini. Ia begitu mendukungku. Setiap hari ia datang ke sekolah musik untuk menungguku selesai berlatih agar kami dapat makan malam bersama. Ia bahkan menyiapkan segala sesuatunya, seperti pakaian, sarapan, sampai senar gitar baru, meskipun ia sudah sibuk dengan pekerjaannya sebagai guru untuk anak-anak berkebutuhan khusus dan juga les piano. Aku benar-benar bersyukur karena dapat memilikinya.

Sudah pukul tujuh. Aku mencuci gelas yang ku pakai. Kemudian senyum lebar mengembang di wajahku karena inisial nama kami tertulis begitu jelas di bagian dasar gelasnya. Ini idenya, agar kami ingat bahwa tempat pertama kami bertemu adalah di restoran. Lalu aku menyadarkan diriku agar segera membersihkan gelas itu. Setelah selesai aku segera bergegas ke luar dan mengambil sepedaku. Aku kembali tersenyum karena disana kembali tertempel sebuah pesan hati-hati, aku mencintaimu.

Aku berencana untuk mampir ke caffe yang selalu kami kunjungi untuk membeli segelas Americano kesukaannya. Jaraknya tidak jauh dari rumahku, jadi aku mengendarai sepeda sambil menikmati pagi yang begitu cerah. Langit biru membentang begitu luas tanpa penghalang. Sehingga membuat sinar mentari dapat menghangatkan tubuhku. Benar-benar hangat, seperti hangat sentuhan jemarinya.

Tak sampai lima menit aku sampai di caffe. Ku parkirkan sepedaku dan aku segera naik ke lantai atas letak caffe itu berada. Lalu aku duduk di luar karena begitu sayang melewati hari secerah ini.

“ini, segelas Americano-mu” kata salah seorang pelayan caffe yang memang sudah hapal betul dengan pesananku tiap tahunnya. Ia meletakkan gelasnya di meja dan aku melihat sebuah note tertempel disana, MISSING YOU. Aku tersenyum, begitupun pelayan itu. Ia lalu masuk dan aku masih menikmati terpaan sinar mentari sambil memegang secarik note itu. Wanitaku memang benar-benar penuh detail. Aku makin menyukainya.

Setelah merasa lebih hangat aku lalu beranjak dan berjalan bersama sepedaku ke arah selatan. Ke arah tempat tujuanku hari ini. Jalanan begitu sepi, namun daun-daun bersemi begitu indah. Membuat hati siapapun yang melihatnya akan berbahagia. Kicauan burung juga hadir melengkapi jernihnya cuaca pagi ini. Angin pun berhembus sejuk di kulitku. Seolah langit sudah mempersiapkannya untukku. Seandainya wanitaku bersamaku saat ini, mungkin kebahagianku akan lengkap.

“Lay,” panggil seorang ahjussi yang baru saja keluar dari toko kue, “tunggu sebentar.” Katanya sambil tersenyum dan kembali masuk ke dalam tokonya.

Tak lama ia kembali. Dengan sekotak kue yang tidak pernah ku pesan namun ditujukkan untukku.

“hari ini ulang tahunnya, kan? Berikan ini untuknya.” Kata ahjussi itu yang setelah ku ingat adalah ahjussi yang anaknya pernah di bimbing oleh wanitaku di sekolah berkebutuhan khusus.

“khamsahamnida” aku sungguh bersyukur bahwa orang-orang di sekeliling kami begitu peduli padanya.

Tak sabar ingin segera berjumpa. Akhirnya ku kendarai sepedaku menuju jalanan menurun yang nampak teduh karena ditiap sisinya diisi oleh pepohoan hijau. Dulu kami suka berjalan kaki disini sambil menikmati udara segar khas dataran tinggi bersama anjing kecil kami.

Dalam waktu sepuluh menit aku sudah tiba di sebuah gereja terbesar disini. Gereja ini penuh ukiran khas Eropa, sama sekali tidak akan terasa jika kau sedang berada di Korea kalau sedang beribadah disini. Melengkapi segala keanggunan Rumah Tuhan ini, sebuah lonceng khas Gereja menjadi simbol pengingat umat untuk selalu beribadah. Lalu aku melepaskan semua rasa kagumku atas bangunan suci ini dan memarkirkan sepedaku di sisi Gereja. Ku ambil kue tadi dan membawanya ke dalam.

Aku melewati lorong Gereja yang sama indahnya dengan arsitektur luarnya. Mozaik-mozaik Yesus, Maria, dan para Santo terukir dengan anggunnya di dinding gereja. Sungguh perasaan tenang begitu saja hinggap dalam jiwaku.

Beberapa langkah ku lewati dan sekarang aku tiba di ujung lorong Gereja. Sebuah ruangan dihadapanku sudah siap menjadi saksi lagi atas pertemuanku kembali dengannya.

“Chagi-ya, annyeong” sapaku pada wanitaku. Wajahnya begitu manis didalam bingkai foto itu. Baju merah muda yang ia kenakan membuatnya terlihat semakin menawan, sama persis dengan foto yang ada dirumahku. Yang selalu menemani hari-hariku.

Hampir lupa karena aku begitu senang melihatnya lagi, ku keluarkan kue dari kotak pemberian ahjussi. Sebuah kue ulang tahun dengan hiasan stroberi kesukaannya. Ditambah beberapa pasang lilin warna-warni yang begitu mencerminkan kepribadiannya yang ceria. Lalu ku nyalakan lilin diatasnya dan menyanyikan lagu selamat ulang tahun sambil memandang wajahnya dari balik lemari kaca tempat menyimpan abu kremasi.

Didalamnya sengaja ku taruh beberapa miniatur yang akan mengingatkanku pada dirinya. Seperti miniatur piano, sepeda, dan anjing kecil. Juga sebuah pesan dari ku agar ia tahu bahwa meskipun massa dan tempat tak akan mampu menjadi pemusnah dari perasaanku, ALWAYS LOVE YOU, MISSING YOU EVERYDAY.

Sudah dua tahun sejak kepergiannya dan aku masih merindukkannya. Benar-benar rindu hingga aku tak mampu bernapas jika tidak melihat wajah tersenyumnya meski melalui foto. Seandainya waktu bisa berputar, aku tidak akan menyia-nyiakan waktu saat bersama dengannya. Seandainya waktu bisa berputar, aku tidak akan sungkan menyatakan cintaku setiap hari padanya. Seandainya waktu bisa berputar, aku tidak akan melewatkan satu detikpun untuk membuatkannya sebuah lagu. Seandainya waktu bisa berputar…aku akan mengatakan bahwa aku selalu mencintai dan merindukannya.

END

Invisible Woman (FF Remake of “Chen – No.1”)

Title      : Invisible Woman (FF Remake of “Chen – No.1”)

Cast     : Kim Jong Dae, A Girl

Genre  : Fiction, Romance

Ratting : –

HEOL!. Mengapa aku begitu sial hari ini? Tidak, bukan hanya hari ini. Minggu ini! Aku begitu sial selama tujuh hari berturut-turut. Pertama, aku menghadapi masalah dengan klien di tempat kerja. Kedua, tagihan sewa appartment yang tertunda selama bulan kembali datang ke kotak suratku. Belum lagi, di hari ketiga, gaji ku di potong karena masalah hari Senin. Hari berikutnya kunci mobilku jatuh ke lubang saluran air di depan kantor dan sialnya, hingga hari Jumat petugas keamanan belum menemukan benda paling berharga itu. Sementara hari ini, aku harus kembali naik bus untuk berangkat ke kantor dan, entah langit sedang marah padaku atau bagaimana, aku di pecat!

Rasanya seperti aku akan mati saja. Dunia ini terasa lebih kejam dibandingkan saat langit mengambil nenek ku empat tahun lalu. Bahkan, hingga akhir pekan minggu lalu aku masih menganggap kepergian nenek adalah hal terberat dalam hidupku. Tetapi setelah hari ini, semua berubah. Aku benar-benar gila!

Akhirnya tanpa mobil yang kuncinya sedang di ciptakan ulang, aku pergi dari Seoul menuju kampung halamanku, Siheung. Berharap aku dapat melepas semua kepenatan kota dalam hidupku yang sedang sial. Meski aku tahu bahwa sudah tak ada lagi rumah yang dapat ku tuju disana, tapi aku tetap berangkat. Mungkin aku dapat menginap di sauna atau dimanapun. Yang jelas aku ingin sebuah ketenangan.

Tidak butuh waktu lama untuk tiba di Siheung karena jalanan tengah malam sangat lengang. Untuk pertama kalinya setelah empat tahun, aku menginjakkan kaki lagi di kampung halamanku. Ketika aku berdiri di halte untuk menilik jalan mana yang harus ku tempuh, beberapa orang yang sepertinya sedang menunggu bus memperhatikanku. Seorang dari mereka berbisik pada yang lainnya. Aku hanya tersenyum dan meninggalkan mereka dengan pikiran-pikiran yang sedang tersusun dalam otak mereka.

Jalan ke arah pantai adalah pilihanku. Jaraknya memang agak jauh, tapi ketika kecil aku sudah terbiasa jalan dari rumah ke pantai bersama nenek. Sambil memantapkan tiap langkahku, beberapa potong ingatan tentang kejadian seminggu terakhir kembali menyergap. Ada adegan aku sedang bertengkar dengan klien, ada adegan dimana dengan mirisnya aku menatap lemah ke arah saluran air, dan adegan hari ini, saat tanpa pemberitahuan C.E.O memecatku. Sial.

Ku tendang batu sebesar kepalan tangan yang menghalangi jalanku. Aku lalu berhenti, memikirkan segala sesuatunya dan kembali menatap jalanan. Tepat saat itu juga ada seberkas cahaya temaram mencuri perhatianku. Sebuah kedai soju. Ku masukan kedua tanganku ke dalam saku celana untuk mengambil pundi-pundi terakhir yang ku miliki. Dua lembar uang lima puluh ribu, selembar uang seratus ribu, dan beberapa keping sen. Dengan yang kumiliki ini, aku masih bisa membeli sebotol soju dan mencari sauna.

“eommonie, annyeong haseyo” suaraku mungkin terdengar sedikit parau, namun ku usahakan untuk menyapa pemilik kedai seramah mungkin karena ini sudah lewat tengah malam. Lalu aku memesan apa yang dapat ku pesan dengan bonus semangkuk paha ayam goreng. Entah surga sedang berbaik hati atau sedang memberikan harapan palsu padaku.

Segelas, dua gelas, tiga gelas, empat gelas, dan kepalaku semakin pusing. Brukk.

Kepalaku terhempas ke meja, dahiku sedikit sakit namun aku tak mampu lagi mengangkat kepalaku. Aku terlalu mabuk. Seolah segalanya benar-benar runtuh hingga aku tak bisa lagi berpijak dengan kuat.

Di kedai ini hanya ada beberapa pria yang tengah berbincang. Mereka memakai jaket super tebal dengan bawahan celana olahraga. Eommonie pemilik kedai juga berpakaian serupa, bahkan ia memakai syal. Sesaat aku sadar mengapa orang-orang di halte memperhatikanku. Mereka memakai pakaian yang super tebal sedangkan aku, benar-benar seperti orang aneh, hanya memakai setelan jas kerja berwarna hitam. Tanpa coat atau pakaian penghangat lainnya yang menujukkan bahwa cuaca malam sedang sangat dingin. Tapi yang lebih aneh lagi adalah aku tidak merasa bahwa suhu cukup dingin untuk membuatku menambah lapisan pakaianku.

Semakin banyak aku berpikir semakin tidak sadar diriku. Lama kelamaan aku terpejam.

***

“Kau sudah bangun?” suara seorang wanita membuat sinyal diotakku memerintahkan tubuhku untuk bergerak. Namun sendi-sendiku agak ngilu. Ku rasakan juga sebuah benda dingin menempel di dahiku. Samar-samar ku buka mataku. Cahaya redup mengisi korneaku dan aku menemukan seorang gadis berambut sebahu sedang duduk disampingku.

“nugu…seyo?” aku yang masih bingung dengan situasi ini segera bangun dari tidurku sambil memegang benda dingin yang ada di dahiku –ternyata es batu dalam kantung kompres-. Sepertinya aku demam.

“kau demam tinggi dan kau mabuk” kata wanita itu tidak menjawab pertanyaanku. Ia lalu mengambil kantung es batu itu dari tanganku, “jadi aku membawamu ke rumahku.”

Ah, pantas saja aku tidak merasa dingin. Pikirku sambil memperhatikan rumah wanita ini. Ada banyak lilin dan benda-benda kristal di atas meja. Juga rangkaian mawar yang mengisi tiap sudut rumah ini. Tapi sepertinya ini bukan rumah lantaran ruangan ini hanya berbentuk segi empat. Tidak ada pintu menuju ruangan lain.

“minumlah” kata wanita itu yang sekilas nampak anggun karena memakai summer dress berwarna peach. Ia memberiku segelas air dengan wadah kristal yang indah.

“terima kasih” aku langsung meminumnya karena aku memang haus, “terima kasih juga karena sudah membawaku kesini, tapi aku harus pergi.”

“kenapa terburu-buru?” nada suaranya agak kecewa, “lebih baik kau istirahat dulu disini.”

“terima kasih, tapi aku tidak bisa berlama-lama.” Tolak ku halus dan beranjak dari ranjang putih yang menjadi tempatku tidur tadi lalu berjalan menuju pintu keluar.

Meski aku terkadang bersikap kasar pada orang lain dan terlebih pada diriku sendiri, tapi aku bukan tipe pria yang suka menimbulkan gosip. Mungkin setelah hari ini aku akan segera pergi, tapi untuk wanita ini gosip tidak akan berdampak baik padanya karena mengajak seorang pria asing menginap dirumahnya yang sangat sepi ini. Mungkin ia akan menjadi bulan-bulanan warga desa –yang selalu peduli dengan kehidupan dengan para tetangganya, berbanding terbalik dengan warga kota-.

Tepat ketika aku membuka pintu angin berhembus begitu kuat hingga menusuk tulang-tulangku, membuat langkah kakiku terhenti. Aku jugua tidak tahu bahwa aku tidak tertidur lama karena ternyata diluar masih gelap.

“itulah mengapa aku memintamu istirahat dulu disini,” ujar wanita itu yang sudah ada dibelakangku, “masih pukul dua pagi dan cuaca benar-benar dingin.”

Aku menghela napas. Lalu berbalik dengan wajah pasrah dan melangkah lagi ke dalam. Mungkin para tetangga tidak akan tahu bahwa ada seorang pria asing dirumah wanita ini.

Ketika aku duduk di sofa yang sebelumnya ia duduki, aku merasa seperti tersihir dengan aroma vanilla yang mencuat. Sesaat segala beban seminggu ini yang terus menggelayuti pundakku menghilang. Aku seperti kapas, begitu ringan. Entah bagaimana hal ini dapat terjadi hanya dengan mencium sebuah aroma.

“bukankah aromanya lembut?” tanya wanita itu seolah dapat membaca pikiranku.

“benar, aku sangat menyukainya,” aku setuju, “seperti terlahir kembali, aku…kau tahu tidak? Kemarin aku baru saja di pecat dari pekerjaanku dan sekarang aku merasa bahwa kejadian itu terjadi jauh sebelum malam ini tiba, aku biasa saja, malah rasanya menyenangkan bisa terbebas dari beban itu.”

Ia tersenyum lebar. Menyetujui semua pernyataanku yang entah bagaimana dapat mengalir begitu lancar keluar dari mulutku. Terlebih aku mengatakannya pada orang asing yang baru pertama kali ku temui.

“kalau kau mau aku bisa menunjukkan sesuatu padamu,” katanya sambil tetap tersenyum, “yang menghibur.”

Aku mengangguk cepat dan menunjukkan ekspresi bahwa aku menginginkan hal ‘yang menghibur’ itu. Ia lalu melipat kedua tangannya dan mengarahkannya padaku, menyuruhku untuk membuka lipatan tangannya. Aku menurut. Ku buka tangannya sambil bertanya-tanya hal yang akan terjadi selanjutnya. Puluhan kelopak mawar merah bercampur dengan kelopak mawar putih tiba-tiba saja sudah berada dalam lengkungan jemarinya. Aroma begitu semerbak. Aku lalu tersenyum.

“kau bisa sulap?” tanyaku keheranan dengan nada terpukau.

“bisa dikatakan begitu,” ia lalu menumpahkan kelopak-kelopak itu ke telapak tanganku, kemudian menggerakkan tangan kanannya di depan wajahku. Seolah sedang menarikan tarian rakyat dan sedetik kemudian setangkai mawar merah sudah ada di tangannya.

“Keren! Kau benar-benar bisa sulap!” kataku begitu terkesan pada kemampuannya, “kalau begitu, kau bisa memunculkan kelinci atau burung merpati seperti di acara sulap televisi?”

“aku hanya suka mawar” jawabnya yakin.

“sayang sekali” aku sedikit kecewa karena sebenarnya akan lebih keren lagi jika ia melakukan hal itu.

“tapi aku bisa melakukan sesuatu yang lebih baik daripada mendatangkan kelinci atau burung merpati,” ia tersenyum bangga, “tutup matamu.”

Aku lalu memejamkan mataku. Dapat kurasakan jemarinya menggenggam jemariku dan seketika itu juga jantungku berdegup begitu kencang. Seolah wanita yang selama ini aku idamkan sedang membalas cintaku. Kemudian aku merasakan perubahan suhu. Hembusan angin juga meniup tubuhku, tapi anehnya tidak terasa dingin. Sementara itu, jemarinya masih bertaut dengan jemariku.

“bukalah matamu” katanya berbisik ditelingaku.

Perlahan ku buka kedua mataku. Awalanya terasa begitu gelap dan aku tidak bisa melihat apa-apa namun tak lama aku bisa melihat beberapa titik cahaya di kejauhan. Juga terdengar desiran ombak di telingaku. Pantai. Aku berada di pantai!

“Woah! DAEBAK! JINJA DAEBAK!” aku terkagum-kagum hingga membuat otakku tidak berpikir dengan benar hingga aku memeluknya, “mianhae.” kataku sedikit canggung.

Kami lalu melepaskan jemari kami dan memandang lautan yang terhampar luas dihadapan kami.

“kau begitu sukanya pada laut” suaranya ditelan desiran ombak, namun aku masih dapat mendengarnya dengan jelas.

“lautlah yang menjadi alasan aku berada disini, selain untuk melepas semua nasib sial yang menimpaku seminggu belakangan, laut juga menjadi tempat kenanganku dengan nenek,” aku menatap gulungan ombak dengan nanar, namun juga dengan perasaan lega, “tapi kau benar-benar keren, darimana kau belajar sulap seperti itu?”

“aku tidak belajar, keunyang…” ia menunduk.

“maksudmu, kau terlahir dengan bakat seperti ini?” tanyaku lagi, kali ini ku tatap wajahnya yang berubah muram, ia mengangguk, “Keren! Jinja! Kau keren sekali”

Ia balas menatapku. Seolah yang ku katakan tidak masuk akal dalam pikirannya.

“kau tidak takut padaku?” tanyanya kebingungan.

“apa yang perlu ditakutkan? Kau kan hanya pesulap dan tidak semua orang bisa terlahir dengan bakat seperti itu!” aku mendukung bakatnya dengan berapi-api, “memangnya ada orang yang takut?”

“seluruh Siheung takut padaku” jawabnya tanpa ekspresi apapun yang mampu menjelaskan perasaannya.

Sesaat ia terlihat begitu kesepian. Hidup seorang diri di desa dengan jumlah penduduk yang tiap tahunnya membeludak ini. Juga dengan rasa takut seluruh warga desa. Aku tidak tahu bagaimana ia dapat menjalani hari-hari memilukan itu sepanjang hidupnya. Sementara aku yang baru seminggu tertimpa nasib buruk saja sudah putus asa. Seharusnya aku belajar dari orang-orang sepertinya.

“sudahlah, lagipula hal itu sudah berlalu,” senyum kembali mengembang, “mau kutunjukkan tempat lain yang lebih keren?”

“Jinja? Masih ada yang lebih keren?” semangatku juga kembali.

“kajja” ia sudah berdiri dan meraih pergelangan tanganku agar aku juga berdiri bersamanya. Lalu kami melangkahkan kaki menyusuri pantai.

“kita tidak menghilang lagi?” tanyaku penasaran.

“tidak, tempatnya dekat, diujung garis pantai ini.” ia menunjuk ke arah cahaya lampu di ujung pantai yang jaraknya sekitar 100 meter dari tempat kami sekarang. Dapat ku lihat juga sebuah jembatan yang menjorok ke arah laut.

Dalam diam kami menyusuri garis pantai. Mungkin karena masing-masing dari kami begitu terhanyut dengan ketenangan dan kedamaian malam ini. Aku sendiri sudah bertahun-tahun tidak menghirup angin laut. Sehingga aku ingin menikmati waktuku ini dalam diam, dalam kejernihan suara ombak yang terus menghempas bibir pantai. Aku juga tersadar, bahwa perasaan ku begitu ringannya hingga aku benar-benar lupa dengan beban-bebanku di ibu kota. Ini semua berkat wanita yang sejak tadi masih menggenggam pergelangan tanganku dalam kehangatan jemarinya.

Entah aku sudah gila atau aku terhipnotis oleh pesulap rupawan ini hingga segala dalam diriku berubah dalam sekejap. Mampu menerima kehadirannya saja sudah bukan bagian dari dalam diriku yang lama. Sebelumnya aku tidak suka begaul, aku tidak hidup untuk mencari sahabat atau seorang belahan jiwa. Aku hidup untuk mencari relasi agar aku dapat tetap bertahan hidup dengan pijakkanku sendiri.

Pasir berganti menjadi kayu. Pertanda kami sudah tiba ditempat keren berikutnya. Langkahnya berubah menjadi berlari pelan. Aku juga menyesuaikannya. Hingga akhirnya kami tiba diujung jembatan kayu ini dan aku, sekali lagi, terpukau. Laut dibawah kami memantulkan cahaya rembulan sehingga nampak terumbu karang dan berbagai jenis ikan berlalung lalang dengan tenangnya dibawah kami.

Airnya yang berwarna hijau terang memancarkan sinarnya ke wajah kami. Seperti tak mau kehilangan momen, aku menatap wajahnya. Memberikan tatapan dengan sejuta rasa terima kasih yang tidak bisa ku sampaikan dengan kata-kata. Ia juga menatapku, namun aku tak mampu menangkap arti dari tatapannya yang kembali kosong namun terkesan lembut itu.

Ku lepaskan jemarinya yang masih menggenggam pergelangan tanganku. Ku ganti dengan menyatukan kedua jemari kami. Wajahnya tersenyum, aku juga tersenyum. Entah bagaimana aku merasa bahwa aku menyukainya.

“Duduklah, dan lepaskan sepatumu agar kita bisa merasakan sejuknya air laut” katanya memecah kesunyian diantara kami.

Setelah melepas sepatu dan kaus kaki, aku duduk bersamanya dan baru menyadari bahwa sejak tadi ia tidak mengenakan alas kaki. Tapi semua perhatianku teralih ketika aku memasukan kakiku ke air laut. Rasanya hangat. Sungguh keajaiban. Ketika itu juga air disekitar kakiku seolah memancarkan cahaya yang lebih terang dari pantulan rembulan di laut.

“Keajaiban lainnya…” katanya sambil tersenyum memandang wajahku.

“Apakah kau bisa membaca pikiran juga?” rasa penasaranku akan hal ini semakin menguat.

“kadang-kadang…” balasnya, “tergantung apakah aku mendengarkan atau tidak”

“Jadi sekarang kau sedang mendengarkan pikiranku?” aku membalas senyumnya yang begitu mempesonakan mataku. Lalu sesaat aku tersadar bahwa sebelumnya aku berpikir bahwa aku menyukainya.

“kau tidak boleh jatuh hati padaku” kini wajahnya kembali murung.

“kenapa?” aku tidak mengerti, “kenapa tidak boleh?” aku semakin penasaran, “apakah karena kau sudah punya kekasih?”

Ia berdiri, masih dengan wajah murung dan berbalik. Berjalan menjauh dariku ke arah tepi pantai. Segera saja aku mengambil sepatuku dan berlari mengejarnya. Mungkin aku terlalu cepat memikirkan perasaanku hingga membuatnya terkejut. Mungkin juga ia hanya kasihan padaku dan aku menanggapinya terlalu berlebihan hingga debaran jantungku menjadi sulit dikendalikan.

Sesaat sebelum aku hendak mengatakan bahwa aku ingin mendengar penjelasannya sesuatu menghempas tubuh kami. Rasanya seperti ada yang menabrakku tapi aku dapat menghalaunya. Aku menoleh ke belakang. Ke arah jalannya sesuatu yang menabrak tubuhku itu. Ada dua orang pria membawa peralatan memancing. Keduanya memakai pakaian tebal, layaknya seseorang yang pergi ke pantai di waktu tengah malam. Ku dengar mereka membicarakan sesuatu yang berhawa dingin baru saja menghinggapi tubuh mereka.

Otakku berpikir cepat. Mengumpulkan segenap informasi yang baru saja ku terima. Lalu aku tersadar bahwa mereka bukannya menabrak tubuhku tapi menembus jiwaku. Ku pandangi wanita itu yang langkahnya terhenti sejak kedua nelayan itu menembus tubuh kami.

“ige mwoya?” suaraku parau. Mencoba meyakinkan diriku bahwa aku tidak mati. Bahwa aku bukan roh atau sejenisnya. Begitu juga dengan wanita yang sudah berhasil membuat perhatianku tercurah sepenuhnya pada dirinya.

“mianhae…” jawabnya pelan.

Penuh penyesalan dan rasa khawatir, ia hendak meraih jemariku namun aku menghindar. Ia lalu mencoba menghampirku namun aku melangkah ke menjauhinya. Aku masih belum mengerti sepenuhnya tentang apa yang terjadi padaku.

“kau belum mati,” katanya meyakinkanku, “aku hanya mengajakmu…bermain sebentar” sambungnya dengan nada suara yang hampir tidak ada bedanya dengan wajahnya yang begitu menyesal.

“maksudmu kau mengajak roh ku bermain?” aku setengah kesal dan setengah bingung menghadapi perasaanku, “kau gila?!” diriku yang dulu kembali. Kata-kata kasar juga kembali keluar dari bibirku.

“mianhae…” ia mengulang permintaan maafnya.

“kembalikan aku ke tubuhku,” aku mencoba menahan rasa kesal dalam diriku.

“mianhae…”

“jigeum”

Ia lalu menggerakan tangannya, melipat kedua tangannya seperti saat pertama kali ia melakukan trik sihir didepanku. Kelopak mawar kembali muncul dari rengkuhan jemarinya. Kali ini berwarna biru. Ia menyuapkan satu kelopak mawar ke mulutku dan sekejap semuanya menjadi gelap.

***

Aku terbangun di pinggir pantai. Matahari nampak baru beranjak dari peradabannya. Memantulkan cahayanya di garis-garis gelombang laut yang berarak. Suara burung-burung juga terdengar samar di telingaku. Seolah menjadi alarm senyap dalam heningku.

Ku ambil posisi duduk agar aku mampu mengingat segalanya. Namun kepalaku masih sakit akibat terlalu banyak minum soju. Ah, sungguh sial, aku mabuk dan berakhir di pantai. Memalukan. Seperti ahjussi bodoh yang putuh asa. Belum lagi mimpi aneh bertemu pesulap itu. Gerutuku dalam hati. Tiba-tiba pandanganku terperangkap oleh beberapa kelopak mawar yang bertebaran diatas sepatu kulitku –yang sudah terlepas dari kakiku-. Aku berusaha memahaminya dan aku tersentak begitu ingat bahwa wanita itu bukanlah bunga tidur.

Aku langsung mengambil sepatuku dan berlari menjauh dari pantai. Namun langkahku terhenti. Sepatuku terlepas begitu saja dari tanganku. Segalanya nyata. Rumah gadis itu ada disana, tepat dihadapanku. Tanpa berpikir dua kali aku langsung berlari ke arah rumahnya dan ku buka pintunya. Tempat tinggal berbentuk segi empat dengan satu ruangan ini kosong. Bahkan terkesan usang. Tidak ada apapun dalam rumah ini kecuali beberapa pot kristal berisi air yang dipenuhi mawar liar.

Kaki ku melemas dan tubuhku terkulai tanpa perlawanan. Aku diambang kebingungan. Mungkinkah seharusnya aku tidak meminta kembali masuk ke dalam tubuhku agar aku bisa bersama wanita itu lebih lama. Atau memang sebaiknya seperti ini. Aku sungguh tidak mengerti dengan kenyataan yang terasa semu ini.

Jika kau benar-benar ada dan dapat membaca pikiranku, aku minta supaya kau mendengarkanku. Aku sudah tidak sanggup lagi mengeluarkan kata-kata dari mulutku. Tapi aku mampu mengatakannya dalam hatiku, bahwa aku menyesal telah mengatakan hal kasar padamu. Malam itu aku belum memahami situasinya dengan baik. Tapi satu yang ku sadari, bahkan setelah aku kembali ke tubuhku sebagai manusia, aku menyukaimu. Aku menyukai bagaimana kau dapat membuat segala beban dalam hidupku terhempas oleh aroma vanilla dan senyum mempesonamu. Aku menyukaimu. Sungguh.

END.